Jumat, 19 Desember 2008

QIRA’AT

ILMU QIRA’AT

  1. PENDAHULUAN.

Ketinggian dan keutamaan al-Qur’an jauh diatas bentuk untaian kata dan ungkapan bahasa, bagaikan perbandingan antara keagungan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. Allah menjadikan al-Qur’an risalah-Nya yang terakhir dimuka bumi sebagai pedoman hidup manusia dan petunjuk menuju jalan yang lurus.

Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab.

Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku secara sporadic tersebar disepanjang Jazirah Arab. Setiap suku mempunyai format dialek (lahjah) yang sipikal dan berbeda dengan geografis dan sosiokultural dari masing-masing suku. Namun demikian mereka telah menjadikan bahasa quraisy sebagai bahasa bersama dalam komunikasi, berniaga dan melakukan interaksi lainnya. Dari sinilah kita dapat mengetahui alasan al-qur’an diturunkan dengan bahasa arab atau bahasa quraisy.

Dari perbedaan dialek inilah timbul membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan dalam melafalkan al-qur’an.



  1. PEMBAHASAN.


A. Pengertian Qiraah.

Berdasarkan etimologi (bahasa) qiraah adalah masdar dari kata kerja قرأ yang artinya membaca, jadi qiraah berarti bacaan atau cara membaca .1

Sedangkan menurut istilah definisi qiraah yaitu:

القرأة نوع من ا لتلا وة وتوفقا ا للغة ا لعربية- وتوا تر سند ها ووا فض ا حد ا لمصاحف ا لعثما نية

Qiraah ialah salah satu cara membaca Alqur’an yang selaras dengan kaidah bahasa arab dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu .”2


Sedang qiraah menurut Azzarqani yaitu:

مدهب يدهب ا ليه امام من ائمة القرأة مخا لفابه غيره في ا لنطق با لقرأ ن ا لكريم مع ا تفا ق ا لروايات وا لطرق عنه سواء اكانت هده ا لمخالفة في نطق ا لحروف ام في نطق هيأتها

Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-qur’an Al-karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya”.


Sedang menurut Al-Jazair yaitu:

ا لقراء ت: علم بكفيا ت اداء كلما ت ا لقرأ ن واختلا فها بعزوا لنا قلة

“Qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbathkan kepada penukilnya”.


Masih banyak definisi-definisi dari tokoh-tokoh dan ulama-ulama yang tak mungkin kami sebutkan dalam makalah ini.

Dari definisi-definisi diatas dapat kita tangkap tiga unsure qiraat yaitu:

  1. Qiraat berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat al-qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.

  2. Cara pelafalan ayat-ayat al-qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi .Jadi bersifat taufiqi bukan ijtihadi.

  3. Ruang lingkup perbedaan qiraat itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, istbat, fash dan washl.






B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat.

1. Latar belakang histories.

Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun saat itu qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang mendukung asumsi ini, yaitu:

  1. Suatu ketika Umar bin Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat al-qur’an, Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-furqon. Menurut Umar bacaan Hasyim itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi . Kemudian Hisyam diajak menghadap Nabi untuk melaporkan perisiwa tersebut .Kemudian Nabi bersabda:


هكداأنزلت أ ن هد القرأن أنزل على سبعة اخرف فأقرءواما تيسرمنه

Memang begitulah al-qur’an diturunkan. Sesungguhnya al-qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.


  1. Menurut catatan sejarah timbulnya penyebaran qiraat dimulai pada masa tabi’in. Yaitu pada awal abad ke-2 H, tatkala para qari’ telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti imam-imam lainnya. Qiraat-qiraat tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke murid sehingga sampai kepada para imam qiraat, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.

Kebijakan Abu Bakar Assidiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain, selain yang telah disusun Zaid bin Tsabit, mempunyai andil besar dalam munculnya qiraat yang kian beragam.

Masih adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan , yakni timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa arab akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qiraat itu berada pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah yang kemudian dilaporkan kepada Ustman.

Sesudah itu para imam menyusun kitab-kitab qiraat. Orang yang pertama kali menyusun kitab dalam satu kitab adalah Abu ‘Ubaidah Al-Qasyim bin Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 malam. Kemudian, menyusullah imam-imam lainnya, diantara mereka ada yang menetapkan 25 macam, ada juga yang menetapkan kurang dari bilangan itu. Persoalan qiraat terus berkembang, hingga masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujtahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qiraat(qiraah sab’ah) tujuh imam qari’.


2. Latar belakang cara penyampaian (kaifat al-ada’)

Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qiraat itu bermula dari bagaimana seorang membacakan qiraat itu kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca al-qur’an yang berbeda-beda itu diperbolehkan oleh Nabi sendiri. Hal ini mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan al-qur’an itu sebagai berikut.3

  1. Perbedaan dalam I’rab atau kharakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.

الدين يبخلون ولأمرون الناس بالبغل(النساء:37)

Kata al-bukhl (البخل) disini dapat dibaca fatkhah pada ba’nya menjadi bakhli البخل perbedaan pada I’rab dan kharakat kalimat sehingga mengubah maknanya.

ربنا بعد بين اسفارنا(سباء:19)

  1. Kata ba’id (بعد) fiil amar yang bermakna jauhkanlah bila dibaca ba’ada (بعد) menjadi fiil madhi yang artinya telah jauh.

  2. perubahan pada huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah

وانظر الى العظم كيف ننشزها... (البقرة:259)

Kata nunsyizuha (ننشزها) (kami menyusun kembali) huruf za di danti dengan huruf ra’ sehingga menjadi nunsyiruha (ننشرها) kami hidupkan kembali.

  1. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya tetapi maknanya tidak berubah


وتكون الجبال كالعهن المنفوش (القرعة: 5)

Beberapa qiraat mengganti kata kal-ihni (كالهن) dengan kata ka ash-shufi (كاالسوف) (bulu-bulu domba) dalam hal ini sebagian besar ulama tidak membenarkan karena bertentangan dengan mushaf usmani.

  1. Perbedaan mendahulukan dan mengakhirkannya

وجاءت سكرة الموت بالحق (ق:16)

Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi وجاءت سكرة الحق باالموت Artinya menjadi dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian. Qiraat semacam ini juga tidak di pakai karena menyalahi ketentuan yang berlaku.

  1. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf.

خنت يجرى من تحتها الانهار (البقرة: 25)

Kata min pada ayat ini dibuang dan pada ayat serupa yang tanpa min justru ditambah.









C. Macam-macam Qiraat.

Macam-macam qiraat bisa dilihat dari 2 segi, yaitu segi kuantitas dan kualitas.

1. Dari segi kuantitas

Dari segi kuantitas dibagi menjadi 3 macam:

    1. Qiraah Sab’ah, yang disandarkan kepada tujuh tokoh ahli qiraat yang termasyhur yaitu:

  • Nafi’ bin Abdurahman (wafat 169 H) dari Madinah.

  • Ashim bin Abi Najub Al-Asadi (wafat 127 H) dari Kuffah.

  • Hamzam bin Habib At-Tamimy (Wafat 158 H) dari Kuffah.

  • Ibnu Amir Al-Yastubi (wafat 118 H) dari Syam.

  • Abdullah ibnu Katsir (wafat 130 H) dari Mekkah.

  • Abu Amr Ibn Ala (wafat 154 H) dari Bashrah.

  • Abu Ali Al-Kisai (Wafat 189 H) dari Kuffah.

    1. Qiraah Asyarah, yang qiraahnya disandarkan kepada sepuluh orang imam ahli qura’, yaitu tujuh imam yang disebutkan diatas ditambah 3 imam lagi yaitu:

  • Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al-Qari (wafat 130 H) dari Madinah.

  • Abu Muhammad Ya’kub bin Ishak Al-Hadhary (wafat 205 H) dari Basrah.

  • Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam Al-‘Amasy (wafat 229 H).

    1. Qiraah arba’a ‘asyarah, yang qiraahnya disandarkan kepada empat belas imam ahli qira’, yaitu Imam ahli qiraah sepuluh tersebut ditambah empat imam:

  • Hasan al-Bashry (wafat 110 H) dari Bashrah.

  • Ibnu Muhaish AL-Yazidy (wafat 202 H) dari Baghdad.

  • Abul Faraj Ibnul Ahmad Asy-Syambudy (wafat 388 H) dari Baghdad.




2. Dari segi kualitas

Macam-macam Qiraah jika ditinjau dari segi kualitas dibagi menjadi enam macam:

    1. Qiro’ah Mutawatiroh, yaitu qiraah yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak, mereka tidak mungkin bersepakat dusta. Inilah qiraah yang paling baik dalam al-Qur’an. Contoh Qiraah sab’ah

    2. Qiraah Masyhura, yaitu qiraah yang shahih sanadnya seperti diriwayatkan oleh orang yang adil, dhobit dan seterusnya, dan selaras dengan kaidah bahasa arab serta bacaannya cocok dengan salah satu mushaf usmani.

    3. Qirah Ahad, yaitu qiraah yang sanadnya shahih tetapi tulisannya tidak cocok dengan mushaf usmani, dan juga tidak selaras dengan kaidah bahasa arab. Qiraah ini tidak boleh untuk membaca al-Qur’an dan tidak boleh diyakini dari al-Qur’an.

    4. Qiraah Syadzdzah, yaitu qiraah yang sanadnya tidak shahih seperti bacaan ملك يوم الدينdengan bentuk fiil madhi yang berasal dari bacaan Ibnu Sumarfai

    5. Qiraah maudlu’ah, yaitu bacaan yang dibuat-buat yang tidak ada sandarannya sama sekali, seperti bacaan :

انما يغشى الله من عباده العلماء

2.6.Qiraah Mudraj, yaitu qiraah yang bacaannya ditambah-tambah sebagai penjelasan seperti bacaan Sa’id bin Abi Waqash اوله اخ او اخت من ام dengan tambahan من ام


D. Qiraah Sab’ah dan kaitannya dengan sab’ati ahruf.

Al-qur’an diturunkan oleh Allah dalam tujuh huruf, berdasarkan hadits Nabi, yang artinya :

Dari Ibnu ‘Abbas ra., bahwasanya ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Jibril membacakan (Alqur’an) kepadaku dalam satu huruf . kemudian aku datang kembali kepadanya dan aku senantiasa minta tambah kepadanya. Ia pun menambahnya untukku sehingga berjumlah tujuh huru. Imam muslim menambahkan : Ibnu Syihab berkata : disampaikan kepadaku tujuh huruf tersebut adalah dalam masalah-masalah yang tidak ada perselisihan yang menyangkut hukum halal dan haram”


Dalam mendefinisikan sab’atu akhruf para ulama berbeda pendapat :

  • Pendapat pertama bahwa yang dimaksud dengan sab’atu akhruf adalah 7 macam bentuk suku-suku Arab. Ini berdasarkan yang dikemukakan oleh Muhammad Sulaiman bin Mahran Al-Asadi .

  • Kedua, sab’atu akhruf itu maksudnya bentuk-bentuk ungkapan bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Qur’an yang jumlahnya 7 macam. Ini diungkapkan oleh Abu Ubaid Al-Qasim.

  • Ketiga, sab’atu akhruf itu adalah 7 pola kalimat yang ada dalam Al-Qur’an.

  • Keempat, yang dimaksud adalah 7 macam bentuk kata ataupun kalimat yang diperselisihkan cara membacanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnul Jazari.

  • Ada yang mengatakan bahwa itu adalah pola perubahan yang jumlahnya 7 macam dimana terjadi perselisihan bentuk bacaan. Demikian itu adalah pendapat Imam Fakhrudin ar-Raazi.

Sebagian orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan tujuh dalam hadits-hadits adalah qiraat para imam qiraat tujuh (قرأ سبعة). Mereka beranggapan bahwa qiraah sab’ah adalah sab’atu ahruf, pendapat ini adalah salah.

Menurut Al-Allamah Abu Syamah mengatakan: “Ada golongan yang menyangka bahwa Qiraah sab’ah yang ada sekarang inilah yang dimaksudkan oleh bunyi hadits mengenai tujuh huruf itu, menyalahi ijma’ para ahli qiraat dan sangkaan demikian itu adalah persangkaan orang-orang yang salah yang benar adalah: Qiraah sab’ah bahkan Qiraat asy’arah yang dipakai dunia Islam pada saat ini adalah bagian sab’atu ahruf, semuanya sesuai dengan bacaan al-Qur’an yang diajarkan Jibril kapada Nabi Muhammad Saw, semuanya mempunyai sanad yang mutawatir dari Rasulullah.

Ibnu Siriin mengatakan sebagaimana yang disetir oleh Ibnu Asytah dan Ibnu Abi Sya’bah: qiraat yang ajarkan Jibril kepada Nabi Muhammad Saw pada tahun wafatnya itu adalah qiraat al-Qur’an yang dipakai masyarakat Islam ini.4


E. Pengaruh Perbedaan Qiraat terhadap Istimbath Hukum

Perbedaan antara Qiraat satu dengan Qiraat yang lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, ‘irab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang di istimbatkan dari padanya.

Perbedaan qiraat dalam al-Qur’an mempunyai pengaruh besar dalam proses penetapan hukum. Sebagian qiraat bisa berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global) menurut qiraat yang lain atau penafsiran dan penjelasan kepada maknanya. Bahkan tidak jarang perbedaan qiraat menimbulkan perbedaan penetapan hukum dikalangan ulama.

Contoh-contoh perbedaan qiraat Al-Qur’an yang mempengaruhi istimbath hukum :

  1. Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 222, dijelaskan seorang suami dilarang berhubungan seksual tatkala istrinya sedang haid sebelum haidnya berakhir, ada qiraat yang membacanya yutathahir berarti boleh berhubungan sebelum istrinya bersuci dan mandi..

  2. Menggunakan dua ketentuan yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Contoh dalam surat al-Maidah ayat 6, ada yang membaca arjulaikum. Perbedaan ini jelas mempengaruhi hukum yang berbeda.

  3. Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya dalam surat al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa qifarat sumpah adalah memerdekakan budak. Namun tidak dijelaskan apakah budak itu muslim atau non muslim, sehingga dalam qiraat Syadz ayat itu ditambah dengan “Mukminatin.”


F. Faedah Keragaman Qiraat

Dengan beragamnya qiraat maka banyak faedah yang diperoleh diantaranya:5

Meringankan dan memudahkan bagi ummat

  1. Menampakkan keutamaan dan kemuliaan atas semua ummat, sebab semua kitab yang sebelumnya diturunkan dengan satu qiraat.

  2. Memperbesar pahalanya, yaitu dengan usaha yang dikerahkan untuk meneliti dan memastikan qiraat-qiraatnya kata demi kata.

  3. Menampakkan kerahasiaan Allah dalam kitabnya.

  4. Menjelaskan apa yang masih mujmal (global).


  1. KESIMPULAN

Setelah membaca dan memahami ilmu qiraat dalam makalah kami, maka dapat disimpulkan bahwa:

  1. Sumber qiraat semata-mata hanya wahyu Allah bukan berdasarkan akal maupun hasil ijtihad manusia.

  2. Qiraat yang kita pergunakan sekarang ini termasuk bagan dari sab’atu ahruf.


  1. Qiraat Syadzaah boleh dipakai untuk menetapkan hukum syara’ sebagai mana pendapat jumhur ulama.

  2. Berhati-hatilah terhadap buku yang ditulis oleh para orientalis, dimana mereka telah dengan sengaja ingin merusak hakikat Islam.





  1. PENUTUP

Demikian makalah ini kami buat. Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan kami, oleh karena itu saran dan kritik sangat kami harapkan untuk kebaikan bersama.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan bagi pembaca umumnya.






DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Rasihan, Ulumul Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2000.


Ismail Muhammad Sya’bani, Mengenal Qira’at Al-qur’an, Dunia Utama, Semarang, 1993.


Ismail Muhammad Sya’bani, Mengenal Qira’at Al-qur’an, Dunia Utama, Semarang, 1993.


Jalal, Abdul H.A , Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 1998.


Syadali, Ahmad, Ulumul Qur’an I, Pustaka Setia, Bandung, 2000.






1 Syadzali, Ahmad, Ulumul Qur’an I, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 224

2Jalal, Abdul , Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 1998, hlm. 237

3 Anwar, Rasihan, Ulumul Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal. 153

4 Ismail Muhammad Sya’bani, Mengenal Qira’at Al-qur’an, Dunia Utama, Semarang, 1993, hal. 84

5 As Suyuti Imam, Apa itu Al-qur’an, Gema Insani Pers, Jakarta, 1993, hal. 81

Ijaroh

IJARAH


  1. PENDAHULUAN

Sebelum dijelaskan pengertian sewa-menyewa dan upah atau Ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional Ijarah itu sendiri. Transaksi Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Idris Ahmad dalam bukunya berpendapat bahwa Ijarah berarti upah mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah.


  1. PEMBAHASAN

    1. Pengertian Dan Landasan Hukum Ijarah

Ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa jasa/imbalan merupakan transaksi yang memperjual belikan manfaat suatu harta benda. Transaksi Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Kebolehan transaksi Ijarah ini didasarkan sejumlah keterangan Al-Qur’an dan Hadits, antara lain sebagaimana di bawah ini:

وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ{سورة البقرة ۲۳۳}

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al Baqarah 233)


Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya adalah al-iwadl yang artiu dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah.




Sedang menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan Ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:

    1. Menurut Hanafiah bahwa ijarah adalah:

عقد يفيد تتمليك منفعة معاومة مقصودة من العين المستأجرة بعوض


“Akad untuk membolehkan pemilihan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”


    1. Menurut Malikiyah bahwa Ijarah adalah:

تسمية التعاقد على منفعة الاد مي وبغض المنقولان

“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindah-pindahkan.1



عقد على منفعة معلمة مقصودة قبلة للبذروالاباحة بعوض وضعا

“Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”


    1. Menurut Muhammad As-Syarbini Al-Katib bahwa yang dimaksud dengan Ijarah ialah:

تمليك منعفة بعوض بشروط

“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.2


    1. Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah “suatu jenis akad yang akad untuk mengambil manfaat dengan jalan pergantian.”

    2. Menurut Hasbi Asy-Shidhiqie bahwa Ijarah adalah:

عقدموضوعةالمبادلة على منفعة الشيئ بمدة محدودة أى تمليكهابعوض فحى بيع المنافع


“Akad yang obyeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat”3


    1. Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.”

Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah al Qur’an, as Sunnah dan al Ijma’.

      • Dasar hukum Ijarah dalam al Qur’an adalah:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ{سورة الطلاق ٦}

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.”


      • Dasar Hukum Ijarah dari al Hadits adalah:

أعطواالأجيرأجره قبل ان يجف عرقه

“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering (HR. Ibnu Majjah)


      • Landasan Hukum Ijma' adalah semua umat bersepakat, tidak ada serang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini. Sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak dianggap.4


    1. Obyek Ijarah Dan Persyaratannya

Dalam beberapa definisi yang disampaikan dimuka dapat digaris bawahi bahwasanya Ijarah sesungguhnya merupakan sebuah transaksi atas suatu manfaat. Tidak semua harta benda boleh diakadkan Ijarah atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini:

      1. Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas.

      2. Obyek Ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.

      3. Obyek Ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum-hukum syara’.

      4. Obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.

      5. Harta benda yang menjadi obyek Ijarah haruslah harta benda yang bersifat isti’maly, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan dzat dan pengurangan sifatnya, contoh: tanah, rumah, mobil. Sedangkan benda yang sifat istilaqy, harta benda yang rusak, berkurang klarena pemakaian seperti makanan, buku tulis, tidak sah Ijarahnya.5


    1. Rukun-Rukun Ijarah

Rukun-rukun Ijarah adalah sebagai berikut:

        1. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, Mu’tajir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Disyaratkanbagi mu’jir dan musta’jir adalah bakligh, berakal, cukup melakukan fasbatruk (mengendalikan harta)dan saling meridloi.

        2. Shighat Ijab Qabul antara Mu’jir dan Musta’jir, Ijab Qabul sewa menyewa dan upah mengupah.

        3. Ujrah disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa dan upah mengupah.

        4. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat, yaitu:

          • Hendaklah barang yang menjadi obyek sewa menyewa dan upah mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.

          • Hendaklah benda yang menjadi obyek sewa menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa menyewa).

          • Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut Syar’i, dan bukan hal yang dilarang (diharamkan).

          • Benda yang di sewakan disyaratkan kekal ‘ain (dzat)nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.

Adapun Ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atau seorang pekerja atau buruh, harus memenuhi beberapa persyaratan-persyaratan berikut:

  • Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan.

  • Pekerjaan yang menjadi obyek Ijarah tidak berupa pekerjaan yang menjadi kewajiban musta’jir sebelum berlangsung akad Ijarah.

Selain persyaratan yang berkenaan dengan obyek Ijarah hukum Islam juga mengatur sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan ujrah (upah/ongkos sewa):

        • Upah harus berupa mal mutaqawwamim dan upah tersebut harus dinyatakan secara jelas.

        • Upah harus berbeda dengan jenis obyeknya.


    1. Upah Dalam Pekerjaan Ibadah

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk sholat, puasa, haji atau membaca al Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak orang yang menyewa, adzan, iqamat, dan menjadi imam haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut,6 sesuai sabda Rasulullah SAW:

أقرأواالقرأن ولاناكلوابه

“Bacalah olehmu al Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan cara itu.”

Perbuatan seperti adzan, iqamah, shalat, haji, puasa, membaca al Qur’an dan dzikir adalah tergolong perbuatan taqorrub kepada Allah, karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari anak.

Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan adzan, iqamah, mengajarkan al Qur’an, fiqih, hadits, badal haji, puasa adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Tapi boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebit jka termasuk kepada mahslib, seperti mengajarkan al Qur’an, hadits, fiqih, dan haram mengambil upah yang termasuk taqorrub seperti membaca al Qur’an, shalat dan lain-lain.

Madzhab Malik, Syafi’i, dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan al Qur’an dan ilmu-ilmu, karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.

Dijelaskan oleh Sayyid Sabbiq dalam kitabnya fiqih sunnah, para ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar al Qur’an, guru-guru disekolah yang dibolehkan mengambil upah, karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat al Qur’an dan mengajarkannya dengan taat dan ibadah. Malik berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran al Qur’an, adzan dan badal haji.


    1. Pembayaran Upah Dan Sewa

Hak menerima bagi Musta’jir adalah sebagai berikut:

            • Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majjah, Rasulullah SAW. bersabda:


أعطواالاحيرأجرة قبلام يحف عرقه

“Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering.”

            • Jika menyewa barang, maka uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditetukan lain, manfaat barang yang diijarahkan menglirkan selama penyewaan berlangsung.


    1. Beberapa Masalah Dalam Praktek Ijarah

              1. Perihal pemanfaatan barang.

Jika seseorang menyewa sebuah rumah tempat tinggal, maka ia berhak memanfaatkan fungsi rumah tersebut sebagai tempat tinggal, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Ia juga berhak men-tasharub-kan fungsi rumah tersebut, sepanjang ia tidak menyalahi fungsi rumah tersebut

Jika seseorang menyewa sebidang tanah, maka dalam akad harus dijelaskan fungsi tanah tersebut, apakah untuk pertanian, perkebunan atau mendirikan bangunan. Pihak penyewa tidak berhak memanfaatkan tanah kecuali untuk fungsi yang dinyatakan dalam akad.

              1. Perihal perbaikan obyek sewa.

Terkadang sebuah obyek persewaan tidak dilengkapi sarana yang layak untuk menunjang fungsinya, seperti rumah yang tidak dilengkapi dengan sumur, tidak ada saluran air, atau tidak berjendela, gentengnya pecah-pecah. Siapakah yang wajib memperbaikinya, apakah pihak penyewa atau pemilik?

Semua bentuk perbaikan fisik rumah yang berkenaan dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal pada prinsipnya menjadi kewajiban pemilik rumah. Sekalipun demikian pihak penyewa tidak berhak menuntut perbaikan fasilitas rumah. Sebab pihak pemilik menyewakan rumah dengan segala kekurangan yang ada. Dan kesepakatan pihak penyewa tentunya dilakukan setelah mempertimbangkan segala kekurangan yang ada. Kecuali perbaikan fasilitas tersebut dinyatakan dalam akad. Adapun kewajiban pihak penyewa sebatas pada perawatan, seperti menjaga kebersihan/ tidak merusak. Sebab di tangan pihak penyewa barang sewaan sesungguhnya merupakan amanat.

              1. Kerusakan barang sewaan.

Akad Ijarah dapat dikatakan sebagai akad yang menjual belikan antara manfaat barang dengan sejumlah imbalan sewa (ujrah). Dengan demikian tujuan Ijarah dari pihak penyewa adalah pemanfaatan fungsi barang secara optimal. Sedang dari pihak pemilik, Ijarah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari ongkos sewa.

Apabila obyek sewa rusak sebelum terjadi penyerahan maka akad Ijarah batal. Apabila kerusakan tersebut terjadi setelah penyerahan maka harus dipertimbangkan faktor penyebab kerusakan tersebut. Kalau kerusakan tersebut tidak disebabkan karena kelalaian, kecerobohan pihak penyewa dalam memanfaatkan barang sewaan, maka pihak penyewa berhak membatalkan sewa dan menuntut ganti rugi atas tidak terpenuhinya hak manfaat barang. Sebaliknya jika kerusakan tersebut disebabkan kesalahan pihak penyewa, maka pihak pemilik tidak berhak membatalkan akad sewa, tetapi ia berhak menuntut perbaikan atas kerusakan barang.

Demikian juga bila barang tersebut hilang atau musnah, maka segala bentuk kecerobohan menimbulkan kewajiban atau tanggung jawab atas pelakunya, dan pada sisi lain mendatangkan hak menuntut ganti rugi bagi pihak yang dirugikan.


    1. Pembatalan Dan Berakhirnya Ijarah

Ijarah dapat batal dan berakhir apabila:

                1. Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa.

                2. Rusaknya barang yang disewakan.

                3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.

                4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.

                5. Menurut Hanafiah, boleh Fasakh Ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan mem-fasakh-kan sewaan itu.





Kepustakaan

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Jakarta , PT Raja Grafindo Persada, 2002.


Al-Khatib, Al-Iqna.


Hedi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002.


Fiqih as Sunah.


Abdur Rahman al Jazairy, Kitab al Fiqh ‘ala Madzhahib, Al Arba’ab, Juz III.


H. Hanai Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

1 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Jakarta , PT Raja Grafindo Persada, 2002, Hal: 81

2 Al-Khatib, Al-Iqna, Hal: 70

3 Hedi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Hal: 85-86

4 Fiqih as Sunah, Hal: 18

5 Abdur Rahman al Jazairy, Kitab al Fiqh ‘ala Madzhahib, Al Arba’ab, Juz III, Hal: 111

6 H. Hanai Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Hal: 118